Latest News

Saturday, 23 May 2009

Kunci Rahasia George ke Alam Semesta

Judul asli: George's Secret Key to the Universe
Penulis: Lucy & Stephen Hawking dengan Christophe Galfard
Ilustrasi: Garry Parsons
Alih bahasa: Andang H. Sutopo
Editor: Widi Lugina
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan I: Mei 2009

Ingin berpetualang seru ke ruang angkasa sambil belajar mengenai alam semesta? Ikuti kisah George dengan tetangga misteriusnya Annie dan Eric--ayah Annie--, serta komputer canggih Cosmos.

Sambil mengikuti kisah seru, pembaca juga diberi informasi tentang bintang, bulan, planet, exoplanet, komet, tata surya, lubang hitam. Juga ada pertanyaan: apakah kita memusatkan perhatian untuk memperbaiki kehidupan di bumi dan menghadapi masalah-masalah bumi, atau haruskah kita berusaha menemukan planet lain yang bisa dihuni umat manusia?

Buku ini dilengkapi dengan foto-foto berwarna yang menakjubkan mengenai bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya serta kotak-kotak informasi, yang menambah nilai buku ini. Buku juga dipenuhi ilustrasi dari kisah George sehingga menyiratkan bahwa buku ini untuk anak-anak, padahal di cover belakang khusus disebutkan bahwa buku ini untuk semua umur.

Mungkin ini kesan saya saja: menurut saya, gambar George di ilustrasi buku koq seperti Pangeran Kecil di Le Petit Prince (lebih-lebih kalau George sedang pakai syal), dan gambar Pak Eric mengingatkan saya pada ayahnya Dennis di komik Dennis the Menace (karena kacamata kotak?). Hmm, tidak penting ya? Yang jelas, setelah membaca buku ini saya jadi hapal nama-nama planet di sistem tata surya kita, yaitu: Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus.

Betapa alam semesta sangat menakjubkan! ... "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, ..." (sebagian dari s. Ali 'Imraan : 191).

Friday, 22 May 2009

Tumbuh di Tengah Badai

Penulis: Herniwatty Moechiam
Penyunting: Gunawan B.S.
Penerbit: Bentang, Cetakan I: April 2009

Dari sampul depan dan belakang buku ini, sudah bisa terdeteksi bahwa buku ini menceritakan perjuangan seorang ibu dan anak autistiknya dalam meraih suatu kemampuan diikuti kemampuan lainnya. Kemampuan yang mudah dikuasai oleh seorang individu normal seringkali sulit dikuasai oleh individu yang autistik.

Belum lagi indera individu autistik sering sangat sensitif terhadap sesuatu (berbeda-besa pada setiap individu) sampai-sampai yang bersangkutan menjadi sangat terganggu (mungkin seperti ter-iritasi). Catra, individu autistik di buku ini, menjadi rewel jika dipakaikan diapers, pakaian tertentu, topi, atau sepatu. Catra bisa terperanjat dan menangis ketakutan mendengar suara orang bersin, tangisan anak lain, tawa yang keras, suara berdecit, dering telepon, dan banyak suara lainnya. Padahal kondisi yang normal tapi mengganggu dan tidak nyaman bagi individu autistik ini sering ditemui di tempat terapi atau di sekolah sehingga mengganggu kegiatan belajar.

Di sisi lain, Catra yang masih bayi sangat tertarik mendengar suara azan dan kemudian segala sesuatu yang bernuansa Islam, seperti mesjid, huruf Arab, perlengkapan shalat.

Permasalahan yang tak henti-hentinya dalam membesarkan anak autistik dan 2 orang kakaknya masih ditambah dengan pertengkaran dan pertikaian yang sering terjadi dengan suami. Ibu Herniwatty, penulis buku ini, juga "mengajari" guru-guru dan teman-teman anaknya mengenai individu autistik. Benar-benar perjalanan panjang yang tidak mudah dan melelahkan yang dinamakannya "Sekolah Kehidupan".

Perjalanan yang bagi Catra seperti tersandung di setiap langkah. Meskipun tentu saja ada langkah-langkah yang menggembirakan, antara lain ketika Catra mendapat giliran membawakan kultum dan menyitir salah satu surat mengenai pertolongan Allah yang dikaitkannya dengan kesulitan-kesulitannya sebagai individu autistik. Ketika membaca buku ini sering tanpa disadari kita (pembaca) jadi berucap, "Subhanallah" dan meneteskan air mata. Kini Catra kuliah di UGM, belajar menapaki jalan hidupnya sendiri.

Berbagi pengalaman dengan menulis buku pasti tidak mudah karena seperti membeberkan kehidupan sendiri kepada khalayak ramai dan juga seperti mengoyak luka lama. Tetapi pelajaran yang diberikan buku ini sangat banyak. Apalagi buku ini dituturkan dengan sangat baik. Apa yang dipelajari Ibu Herniwatty di "Sekolah Kehidupan" menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun karena sesungguhnya setiap orang berada di sekolah yang sama. Terima kasih banyak Ibu Herniwatty dan keluarga yang sudah berbagi melalui buku ini.

Buku lain tentang berbagi pengalaman membesarkan anak autistik: Dyah Puspita, "Untaian Duka Taburan Mutiara".

Monday, 20 April 2009

Panggil aku Kartini saja

Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Kata Sambutan: Ny. DR. Hurustiati Subandrio
Epilog: Ruth Indiah Rahayu/Yayasan Kalyanamitra
Penerbit: Hasta Mitra
Cetakan II, 2000 (Cetakan I jilid I dan II terpisah: 1962, Cetakan I jilid I dan II gabungan: 1997)

Buku "panggil aku Kartini saja" sebenarnya masih ada kelanjutannya (jilid III dan IV) tetapi naskah tersebut hilang di tahun 1965. Jadi apa yang terekam atau tergambarkan di sini mengenai Kartini hanya sebagian dari apa yang akan diungkapkan oleh Pram.

Pram mengawali buku ini saat Perang Jawa (Diponegoro) berakhir. Perang yang paling mahal dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda meminjamkan hutang kepada Hindia Belanda sebesar � 37 juta ditambah bunga. Nilai uang jatuh dan Javasche Bank yang baru didirikan menghadapi kebangkrutan. Muncullah Johannes van den Bosch mengusulkan cultuurstelsel untuk mengisi kas Hindia-Belanda. Cultuurstelsel yang pada kenyataannya menjadi tanam paksa kemudian menghisap bumi dan rakyat Hindia Belanda. Untuk pertama kali pemerintah Hindia Belanda mempergunakan kekuasaannya dan "kewibawaannya atas penduduk dijadikannya alat untuk mengeksploitasikan Jawa pada waktu itu secara modern" (halaman 12). Petani-petani pribumi menjadi terlalu miskin dan bahkan terusir dari tanah garapannya yang berubah menjadi perkebunan partikelir (swasta).

Kemudian muncul golongan liberal seperti Multatuli, E.S.W. Roorda van Eisinga, Dr. Ds. Baron ban Ho�vell yang menghendaki kelongaran dari cara memerintah Pribumi. Mereka menghendaki pendidikan yang lebih banyak lagi bagi para amtenar, Eropa, dan Pribumi. Tingkat pengajaran dan pendidikan pada waktu itu sangat rendah di kalangan penduduk bangsa Eropa, apalagi di kalangan Pribumi. Yang ada hanya sekolah-sekolah Nasrani yang tidak jauh berbeda dengan pengajaran di surau-surau. Sekolah Belanda Gubernemen pertama didirikan di Weltevreden (tahun ?). Baru dua tahun kemudian sekolah tersebut terbuka bagi sejumlah kecil Pribumi pilihan, bahkan anak bupati pun masih sulit mendapatkan bangku.

Seolah Bumiputra atau sekolah Melayu gubernemen mulai didirikan tahun 1849 di Jepara, Pasuruhan, dan Padang. Di Makasar dan Maros tahun 1853, di Banjarmasin tahun 1863, di Ambon tahun 1607. Waktu itu bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang bupati yang pandai menulis dan berbicara bahasa Belanda; salah satunya adalah ayah Kartini. Di luar para bupati ada satu-dua orang yang maju, misalnya Raden Saleh.

Dengan latar belakang inilah Kartini lahir dan besar. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Beliau termasuk orang Indonesia yang beruntung pada zamannya. Karena kedudukan ayahnya, Kartini dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah, meskipun hanya sampai pada tingkat dasar, karena setelah itu Kartini masuk dalam pingitan. Kartini sendiri sebenarnya ingin melanjutkan sekolah, bahkan kalau perlu ke negeri Belanda, tetapi sayang ayahnya tidak mengijinkan. Pada awal berdirinya sekolah-sekolah di Hindia Belanda, hanya anak-anak dari keluarga ningrat/bergelar saja yang bisa masuk sekolah. (THS, cikal bakalnya ITB, pun tidak terkecuali; mahasiswanya adalah siswa-siswa yang memiliki gelar, termasuk Soekarno yang memiliki gelar "Raden", kalau tidak salah.)

Dalam masa pingitan, Kartini melakukan hal-hal yang disukainya seperti membatik, melukis, membaca, dan juga belajar bahasa Prancis. Ayahnya yang membuka kesempatan bagi Kartini dan saudari-saudarinya untuk melihat dunia luar (ke Batavia, mengunjungi kapal "Sumatera" di pelabuhan, memberi bacaan) sekaligus mempunyai hak veto atas putri-putrinya yang berhak mengatakan "tidak" atas kehendak para putri ini.

Kartini pandai berbahasa Belanda, baik lisan maupun tulisan, dan sudah terkenal di kalangan orang Belanda dan Indonesia tentang bahasa Belandanya yang baik. Bahkan di masa hidupnya, surat-suratnya ingin diterbitkan oleh Mr. Abendanon, tetapi Kartini menolak. Beliau sadar bahwa seorang putri Jawa yang bisa berbahasa Belanda dengan baik adalah istimewa. Kartini tidak mau diistimewakan. Beliau merasa sebagai bagian dari rakyat dan memang beliau sendiri yang mengucapkan, "Panggil aku Kartini saja - itulah namaku". Pikiran Kartini berkisar pada rakyat, keseniannya, penyakitnya, pendidikannya, perempuannya, perlakuan yang diterima rakyat, dan lain-lain. Dan semua itu disampaikan dalam bahasa Belanda yang runut. Kartini juga pernah diminta untuk menulis di majalah. Menulis menjadi jalan keluar bagi Kartini untuk mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Andaikan Kartini hidup lebih lama lagi, tentu tulisan-tulisannya akan lebih banyak lagi.

Meskipun hanya berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar dan rumahnya. Sebagai salah satu orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda (dalam bahasa Belanda) Kartini menjadi corong kondisi rakyat Hindia Belanda. Sayang sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut. Wikipedia menyebutkan Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri. Kartini wafat pada usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya (September 1904).

Himpunan surat-surat Kartini diterbitkan tahun 1911 dengan judul "Door Duisternis tot Licht". Pada tahun 1923 buku ini telah mengalami cetak ulang ke-4. Terjemahan bahasa Melayu (tahun ?) "Habis Gelap Terbitlah Terang" dilakukan oleh Baginda Abdoellah Dahlan dan Baginda Zainoedin Rasad, dan pada penerbitan selanjutnya dibantu Soetan Moehammad Zain serta Baginda Djamaloedin Rasad. Pada cetakan ke-3 (1951) mencantumkan nama Armijn Pane sebagai penerjemah (halaman 215).

disunting ulang dari panggil aku Kartini saja

Recent Post