![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAtd5hLnDaYb5O9phGaGfy9LCvyNCrLu8QX_Qqk2imK-nobLTXSNaBxtgqvCCgIuL55j51M1rMlehiiz8741JiZMyJtkmcAqPawYbUaNCtupl7qvW-GrbnfmsGx6RfHAg7EUabNozt2cU5/s200/aninconvenient1.JPG)
Penulis: Al Gore
Penerbit: Bloomsburry Publishing, London, 2006 (diterbitkan pertama kali di USA oleh Rodale, 2006)
an inconvenient truth - The Planetary Emergency Of Global Warming And What We Can Do About It bermula dari slideshow, yang kemudian berkembang menjadi buku dan film dalam judul yang sama. Buku ini merupakan buku kedua Al Gore, setelah buku pertamanya Earth in The Balance terbit tahun 1992. Adalah Tipper (istri Al Gore) yang mengusulkan untuk menyusun buku yang disertai dengan foto dan gambar grafis agar krisis iklim mencapai khalayak yang lebih luas.
Buku ini sama seperti film an incovenient truth, memperlihatkan slideshow tentang pemanasan global akibat peningkatan emisi CO2 dan efek rumah kaca serta pengaruhnya terhadap perubahan iklim di bumi, tetapi dalam intensitas yang lebih kuat. Yah, memang pictures speak louder than words. Tetapi juga, karena narasi di buku ini lebih dalam dan luas dan pembaca memiliki waktu yang lebih lama untuk mencerna. Film an inconvenient truth memiliki keunggulan tersendiri karena adanya animasi grafis pada slideshow yang disiapkan Al Gore, tetapi penonton mungkin tidak cukup waktu untuk mengendapkan karena film atau slideshow terus bergerak.
Sama seperti filmnya, buku ini diselingi dengan uraian mengenai kehidupan keluarga Al Gore dan Tipper, masa kecil Al Gore, kakaknya Nancy, ilmuwan Roger Revelle.
Di akhir buku, Al Gore menuliskan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mengatasi masalah krisis iklim, yang secara garis besar adalah:
� hemat energi di rumah;
� bepergian dengan cara hemat;
� kurangi konsumsi, lestarikan (lingkungan) lebih sering;
� jadilah katalisator untuk perubahan.
Beberapa saran--dan situs web yang disertakan--tampaknya hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang tinggal di Amerika Serikat atau ditujukan untuk yang tinggal di negara 4 musim, tetapi banyak saran lainnya bisa diterapkan secara universal.
Al Gore juga mengingatkan adanya 10 konsepsi yang salah mengenai pemanasan global, seperti:
1. Ilmuwan tidak sepakat mengenai apakah manusia merupakan penyebab iklim bumi berubah.
2. Banyak hal dapat mempengaruhi iklim--sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan hanya CO2.
3. Secara alamiah iklim akan bervariasi dari waktu ke waktu sehingga setiap perubahan yang kita lihat saat ini hanyalah bagian dari siklus alamiah.
4. Lubang di lapisan ozon menyebabkan pemanasan global.
5. Tidak ada yang dapat kita perbuat mengenai perubahan iklim. Sudah terlalu terlambat.
6. Lembaran es Antartika bertumbuh sehingga tidak benar bahwa pemanasan global menyebabkan glasir dan es di laut mencair.
7. Pemanasan global adalah hal yang baik, karena akan menghindarkan kita dari musim dingin yang parah dan menyebabkan tanaman lebih cepat tumbuh.
8. Ilmuwan pemanasan global mencatat bahwa ini hanyalah akibat kota-kota yang memperangkap panas, dan bukan efek gas rumah kaca.
9. Pemanasan global adalah akibat meteor yang menabrak Siberia di awal abad ke-20.
10. Suhu di beberapa wilayah tidak meningkat sehingga pemanasan global adalah mitos.
Buku dan juga film an inconvenient truth membawa pesan yang kuat yang semakin menyadarkan manusia dalam menjaga bumi yang hanya satu-satunya ini untuk kepentingan manusia dan anak-cucunya saat ini dan nanti.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGzBjn7nqadJhjpJxvlE8cdIoo2Cv-F0fc2RzeUEtO3ukGbknvJMIjwniUVRIAv6e95b1xUakGEftYVJ7IqirXRHk4M4WcPbe6XsC6X3VDFUXkqdCAnf_CRgfBPMgptYdH3m8WFjysGLyS/s200/iWoz.jpg)
Penulis: Steve Wozniak dengan Gina Smith
Penerbit: Headline Review, 2006
Komputer Apple I dan Apple II. Itulah hasil rancangan Steve Wozniak. Dengan produk Apple I inilah Apple Computer didirikan Steve Jobs, Steve Wozniak, dan Ron Wayne di akhir tahun 1975.
Apple I adalah komputer yang bisa dihubungkan ke keyboard untuk memasukkan input data dan ke TV sebagai layar untuk melihat hasilnya. Pada waktu itu, belum ada komputer yang menggunakan display dan keyboard. Komputer masih menggunakan switch dan lampu di panel depan dan tidak ada layar.
Komputer inilah yang diperlihatkan pada pertemuan Homebrew Computer Club. Steve Jobs mengusulkan untuk menggunakan Intel DRAM daripada AMI DRAM. Dan Steve Jobs lah yang mengusulkan untuk membuat dan menjual printed circuit board dari Apple I kepada anggota-anggota Homebrew lainnya. Meskipun para anggota Homebrew mendapatkan skema Apple I, mereka mungkin tidak punya waktu atau tidak mampu untuk mewujudkan komputer ini.
Agar balik modal, paling tidak harus terjual 50 unit printed circuit board seharga $40. Wozniak meragukan apakah hal ini bisa terwujud. Hanya ada 500-an anggota Homebrew Computer dan sebagian besar antusias pada Altair. Tapi Steve Jobs punya argumen bagus, "Kalaupun kita kehilangan uang, kita punya perusahaan. Untuk sekali dalam hidup kita, kita akan punya perusahaan."
Adapun Apple II didesain untuk berwarna, dengan grafis resolusi tinggi, suara, bisa ditambahkan pedal game, dan bisa nge-boot, siap untuk digunakan dengan bahasa BASIC di ROM-nya. Apple II diumumkan dan dipertunjukkan di West Coast Computer Faire di San Fransisco, bulan Januari 1977.
Kalau melihat masa kecil dan remaja Steve Wozniak, tidak heran kalau dia bisa membuat komputer. Sejak kecil mainannya adalah barang-barang elektronika. Ayah Woz adalah insinyur di program peluru kendali di Lockheed. Woz selalu bertanya dan ayahnya menerangkan, tentang resistor, elektron, diode, transistor, apa saja. Ketika di kelas 6, Woz sangat maju di bidang matematika dan sains, dan ketika dites IQ, ternyata IQ-nya 200 lebih.
Sejak kelas 3 sampai kelas 8 Woz selalu ikut kompetisi sains. Di kelas 8 dia membuat alat Penambah/Pengurang. Ketika di sekolah menengah, Woz mulai suka jahil, mengerjai orang. Sampai-sampai dia pernah dimasukkan ke sel selama semalam. Sifat jahilnya, yang kalau dipikir-pikir mengarah ke kriminal, bahkan muncul di West Coast Computer Faire.
Ketika di SMA, guru elektronika mengizinkan Woz bekerja pada jam sekolah hari Jumat di suatu perusahaan untuk membuat program komputer. Woz membeli buku FORTRAN, belajar menggunakan keypunch, dan menjalankan programnya. Di sini Woz mengenal yang disebut loop (kantor pusat Apple sekarang terletak di 1 Infinite Loop), dan mendapatkan handbook komputer mini dari Digital Equipmen PDP-8 serta mempelajarinya. Sejak itu Woz mengumpulkan manual dari berbagai komputer mini dan katalog-katalog dari berbagai komponen komputer. Di kamarnya, dalam waktu luangnya, Woz mendesain ulang komputer-komputer tersebut menurut versinya sendiri sampai dua-tiga kali, dengan makin sedikit chip dan makin efisien, tetapi hanya di atas kertas.
Sebelum melanjutkan kuliah di Berkeley (sebelumnya Woz kuliah di Colorado dan De Anza), Woz membaca tentang Blue Box, alat untuk mengelabui perusahaan telepon supaya bisa menelepon gratis seolah menelepon ke nomor bebas pulsa. Woz membuat Blue Box digital. Pada waktu ini, Woz sudah mengenal Steve Jobs. Steve Jobs juga yang mengusulkan untuk mengkomersialkan alat ini. Tapi usaha ini membuat mereka was-was karena alat ini sesungguhnya ilegal.
O ya, kerjasama (bisnis) kedua Steve juga pernah terjadi ketika Steve Jobs bekerja di Atari dan waktu itu Steve Wozniak sudah bekerja di Hewlett Packard. Hanya diberi waktu 4 hari, Woz mendapat order untuk membuat game, versi solitaire dari game Pong dan Woz berhasil melakukannya. Steve Jobs membagi honornya separuh dengan Woz. Jobs mengaku bahwa dia mendapat 700 dolar dari Atari. (Di iCon yang ditulis Jeffrey S. Young dan William L. Simon disebutkan Jobs mengaku hanya mendapat $600. Tentang iCon, lihat catatan saya di Steve Jobs dan Bill Gates, Di Mana Aku Waktu Itu?) Tapi dari orang lain, Woz mendengar bahwa Jobs mendapat lebih sampai beberapa ribu dolar (Di iCon disebutkan $ 1,000). Meskipun sakit hati, Woz tidak mau mempermasalahkannya. Orang kan beda-beda, menurut Woz.
Membaca iWoz seperti mendengar Steve Wozniak sendiri yang bercerita kepada kita. Betapa beruntungnya Woz, mempunyai ayah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya, memperkenalkannya dengan bahan dan alat-alat elektronika, mengajarinya menyolder, menyediakan majalah-majalah tentang elektronika, mendukungnya dalam proyek-proyek sains sekolah, memberikan landasan yang kokoh dalam hardware dan software.
Di bab akhir, Woz memberi nasihat bagi calon inventor, antara lain: bekerjalah sendiri (Woz tidak percaya kerja tim), lihat sesuatu secara abu-abu (tidak hitam-putih). Woz mengibaratkan engineer hampir sama seperti seniman: untuk mencapai kesempurnaan, menata segala sesuatunya secara sempurna, dengan cara yang belum pernah dilakukan seorang pun.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimQnUlXDQp2PjJiwDaMbcUtnLbOw58GzRP9Ey5Ud8nHjYCx9Zd2WyJzF-LUPOvsXEKia_zaHv7gGwk41zQdFAH30MrHQ4BtqnF2v5LyTWL5mF_hsMBH1ivz6LlLm5SWec6TiBHKEBgwSEd/s200/4585232-s.jpg)
Penulis: Soetjipto Wirosardjono
Penyunting: Imam Ahmad
Penerbit: LP3ES, Februari 2007
Angka-Angka Berbicara berisi kumpulan tulisan Soetjipto Wirosardjono yang semula adalah kolom di harian, majalah, makalah, kertas kerja, bahan seminar, dan lain-lain, dalam kurun waktu 1976-2006 (yang terlacak) dan sebagian kecil tidak terlacak. Selain itu, terselip satu tulisan Toto Sastrasuanda (mantan Deputi Bidang Statistik Sosial di BPS dan Pimpinan Proyek dan Penanggungjawab Sensus Penduduk 2000) berjudul 'Tinjauan Pelaksanaan Sensus Penduduk 2000'.
Sebanyak 43 tulisan Soetjipto dan 1 tulisan Toto dikelompokkan ke dalam 4 bagian:
1. Statistik dan Masyarakat Modern.
2. Penduduk, Tenaga Kerja, dan Ekonomi.
3. Masalah Perstatistikan Nasional dan BPS.
4. Aspek Metodologis dan Teknis dalam Statistik.
Karena berisi kumpulan tulisan, terasa adanya diskontinuitas antara satu tulisan dan tulisan lain, meskipun sudah ada pengelompokan tulisan ataupun ada persinggungan antara satu tulisan dan tulisan lain.
Bagian I menyoroti kebutuhan statistik di dunia (pemerintahan dan bisnis) modern. Dalam tulisan 'Angka', Soetjipto menceritakan temannya yang kutu buku (yang didukung bakat bahasa dan aksara) tetapi buta angka. Sedikit banyak hal ini mengingatkan saya pada Ayah saya yang berminat pada bahasa tetapi alergi pada angka-angka. Yah.., orang kan beda-beda.. Kondisi buta angka ini mungkin karena orang-orang Timur (Cina, Jepang, Jawa, ..) kuno tidak mengenal angka; kurang memberi tempat pada logika dan lebih percaya pada renungan, olah cipta, rasa, karsa. Huruf Kanji Cina dan Jepang serta aksara Jawa tidak mengenal angka. Sekarang, peradaban dunia sudah bermatra dua: alfabetis dan numerik. Kemudian, di bagian I, Soetjipto membahas manfaat data statistik untuk menyusun perencanaan strategis atau mengidentifikasi karakteristik konsumen bagi dunia usaha.
Bagian II berisi pembahasan mengenai kependudukan, ketenagakerjaan, tenaga kerja informal, produksi pangan, energi, konsumsi masyarakat, pertumbuhan ekonomi, sebagai interpretasi dari data statistik BPS. Bagian ini juga mengemukakan permasalahan pada Peta Kemiskinan yang dibuat Bappenas (sekitar tahun 1992 ?) dan dikatakan sumber datanya dari BPS. Ternyata sumber data peta tersebut adalah data survei Potensi Desa (Podes) yang berisi data fasilitas desa dan bukan data penduduk desa sehingga yang terplot adalah desa yang miskin fasilitasnya, bukan yang miskin penduduknya. Soetjipto mengusulkan supaya Peta Kemiskinan dibuat berdasarkan data pendapatan atau pengeluaran rumah tangga, atau didekati dari pekerjaan kepala rumah tangga, atau keadaan rumah (atap, dinding, lantai). Hendaknya data dasar betul-betul disusun dan bukan menumpang pada data seadanya.
Bagian III memperlihatkan BPS sebagai penyedia data, yaitu bagaimana supaya BPS lebih tanggap terhadap kebutuhan konsumen (pengguna data), permasalahan-permasalahan yang dihadapi untuk menyediakan data nasional sampai desa, dan reorganisasi BPS dalam menjawab tantangan dari luar dan masalah di dalam.
Bagian IV seperti judulnya, membahas aspek metodologis dan teknis dalam statistik, antara lain mengenai sampling error dan non-sampling error.
Buku Angka-Angka Berbicara memperlihatkan keluasan dan kedalaman Soetjipto dalam teori dan praktek statistik di Indonesia. Melalui tulisan-tulisan Soetjipto, pengguna data BPS bisa mengintip dapur BPS, bagaimana persiapan dan pelaksanaan survei, sampai pada penyajian data statistik di dalam tabel-tabel. Mahasiswa yang belajar statistik dan metoda penelitian bisa sedikit membayangkan penerapan ilmu statistik, seperti penggunaan sampel untuk menaksir populasi.
Beberapa tulisan tidak terlacak tanggal penulisannya. Sebagian besar tulisan dibuat pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Hanya dua tulisan yang dibuat pada tahun 2000-an, yaitu "Pengembangan Sistem Statistik Indonesia: Dari Sigma Sampai Delta" dan satu lagi tulisan Toto Sastrasuanda, "Tinjauan Pelaksanaan Sensus Penduduk 2000"; keduanya ditulis pada Agustus 2006. Terus terang, hal ini membuat buku ini terasa "back to eighties"; teringat jaman kuliah ketika sering melihat nama Soetjipto Wirosardjono terpampang di majalah 'Tempo'.
Satu hal lagi, ketika membaca tulisan-tulisan di buku ini, tadinya saya mengira sumber di mana suatu tulisan pernah dimuat, tidak dicantumkan. Ternyata sumber tulisan disatukan untuk semua tulisan, terletak sesudah akhir Bagian IV, sebelum Index. Bagi saya, lebih enak jika sumber tulisan dicantumkan pada setiap akhir tulisan sehingga pembaca tidak perlu jauh-jauh mencari ke halaman belakang untuk mengetahui suatu tulisan pernah dimuat di mana pada tahun berapa.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqJUAR3KrmWclFOdMXSnyRf4qcVKrbz3Xa8Zf0AgBpBApnfGuxEIYoc-N1DdihRvh3MqhCy-6HrIWIpBAx_oBZsPbjuhxp4SFWilYpJNf_7y2eU4MlSBRJ0EBMGhKNLiCXD_gyaKBrlOsx/s200/images.jpeg)
Judul asli: The Namesake
Penulis: Jhumpa Lahiri
Penerjemah: Gita Yuliani K.
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006
Orang Bengali punya dua nama, yaitu nama kecil dan nama resmi, selain nama keluarga. Nama kecil atau nama panggilan beredar hanya di kalangan keluarga dan teman-teman dekat. Sedangkan untuk berbagai urusan formal, nama resmilah yang digunakan.
Ketika pasangan Ashima dan Ashoke mempunyai bayi, nenek Ashima melayangkan surat berisi nama resmi untuk sang bayi. Sayang, surat tersebut hilang di antara Calcutta--tempat tinggal Nenek-- dan Cambridge--tempat tinggal Ashima dan Ashoke. Terdesak untuk segera memberi nama agar putranya bisa ke luar dari rumah sakit, Ashoke menamai sang bayi dengan nama Gogol. Gogol Ganguli. Tidak lama setelah itu, nenek Ashima terserang stroke dan punahlah harapan mendapatkan nama resmi dari Nenek.
Ashoke mempunyai kenangan tersendiri tentang (Nikolai) Gogol. Ashoke pernah mengalami kecelakaan kereta api dan diselamatkan berkat buku cerita pendek Nikolai Gogol. Para penolong melihat lembaran buku Gogol dan Ashoke yang berada di dekat buku tersebut. Ashoke lumpuh selama setahun dan ketika dia sudah berjalan, Ashoke kuliah kembali dan mencari beasiswa ke luar negeri. Ia diterima di Teknik Elektro MIT. Lulus kuliah, Ashoke menjadi dosen di MIT.
Ketika Gogol mulai sekolah, Ashoke mendaftarkannya sebagai Nikhil, yaitu nama resmi pemberian Ashoke sendiri. Namun Gogol tidak bereaksi dengan nama Nikhil dan lebih menyukai nama Gogol. Pada akhirnya sekolah pun menggunakan nama Gogol Ganguli; suatu hal yang tidak disetujui orang tua Gogol karena, seperti telah disebutkan, bagi orang Bengali, nama resmilah yang digunakan untuk semua keperluan formal. Gogol kan nama panggilan yang hanya digunakan oleh kalangan dekat.
Gogol tumbuh di lingkungan pergaulan dan sekolah Amerika. Tetapi orang tuanya membawa pengaruh Bengali di rumah dan lingkungan pergaulan orang tua. Keluarga-keluarga Bengali sering berkumpul untuk merayakan sesuatu, baik itu ulang tahun, kelulusan, maupun upacara-upacara adat seperti upacara makanan padat pertama bagi bayi ataupun upacara pujo.
Sebaliknya, sebenarnya anak-anak pun membawa pengaruh Amerika bagi kedua orang tua. Menu sehari-hari di rumah tidak melulu makanan Bengali, tetapi juga sandwich atau steak. Ashima dan Ashoke serta keluarga Bengali lainnya ikut merayakan Natal meskipun mereka tetap beragama Hindu. Gogol mendesak orang tuanya untuk membeli pohon Natal bagi rumah mereka.
Gogol tumbuh menjadi remaja. Di sekolah, guru sastra memperkenalkannya dengan Nikolai Gogol: salah satu pengarang Rusia yang hebat, yang mati muda sebelum berusia 43 tahun. Dikabarkan bahwa Nikolai Gogol seorang yang paranoid, melankolis, sering mengalami depresi, sulit bergaul, tidak pernah menikah, dan tidak punya anak. Mengapa orang tuanya tidak pernah memberi tahu tentang ini? Gogol remaja tidak pernah berkencan. Rasanya nama Gogol tidak romantis untuk berkenalan dengan seorang gadis.
Selepas sekolah menengah, Gogol diterima di Yale. Sebenarnya dia juga diterima di MIT, almamater ayahnya; tetapi Gogol memilih Yale. Sebelum masuk Yale, secara resmi Gogol mengganti namanya dengan Nikhil.
Begitulah, sejak itu Gogol menjadi Nikhil, sesuatu yang dulu pernah ditolaknya ketika mulai bersekolah di pre-school. Proses pendewasaan Gogol berlangsung dengan nama Nikhil ini. Kuliah, berkencan, putus cinta, magang, bekerja. Tetapi tentu saja, bagi keluarganya dan lingkungan orang-orang Bengali, Gogol tetap Gogol.
Gogol pindah ke New York. Sonia, adiknya, kuliah di San Fransisco. Ashoke mendapatkan beasiswa untuk riset di Cleveland. Dan Ashima tetap di Pemberton Road.
Di Cleveland, Ashoke meninggal dunia. Gogol pergi ke Cleveland mengemasi barang-barang ayahnya. Sejak Ashoke meninggal, Ashima jadi lebih sering menelepon Gogol. Dia menjodohkan Gogol dengan gadis Bengali.
Begitulah, Gogol kemudian menikahi Moushumi, kandidat Ph.D sastra Prancis di NYU, yang sebenarnya sudah diketahuinya sejak kecil. Namun, pernikahan ini kemudian berakhir.
Pada akhinya, rumah di Pemberton Road akan dijual. Ashima berencana untuk tinggal di India enam bulan dan di Amerika enam bulan. Sonia akan menikah. Gogol berencana untuk pindah kerja ke perusahaan yang lebih kecil, yang membuka kemungkinan dirinya dijadikan partner.
Gogol, terjebak antara budaya Bengali dan Amerika, dengan menyandang nama Rusia. Ndilalah, Nikolai Gogol, yang sebagian namanya dipakai Gogol (Ganguli), meskipun terkenal sebagai pengarang hebat tetapi memiliki kepribadian yang menyedihkan. Menjadikan Gogol (Ganguli) bermasalah dengan namanya. Karena apapun nama itu: nama panggilan, julukan, nama resmi di akte kelahiran, adalah identitas diri kita, yang sepertinya menjadi karakter kita.
The Namesake bercerita tentang perbedaan antar budaya (Bengali dan Amerika Serikat) dan antar generasi (orang tua dan anak), yang juga bercerita tentang penyesuaian diri. Anak-anak keluarga Bengali yang lahir dan dibesarkan di Amerika; orang tua Bengali yang memiliki keterikatan yang kuat dengan India karena masa lalu dan keluarga besarnya di sana. Adaptasi terbesar mungkin yang dialami istri Bengali, yang praktis tidak mengenal seorang pun di negeri yang baru. Ia baru mengenal suaminya--karena dijodohkan--, harus mengurus keluarga baru, di negeri orang pula. Ashima masih mengenakan sari dan menggelung rambutnya, dan mengenakan atribut perempuan Bengali yang sudah menikah. Seolah itu semua hidup di hadapan kita melalui penuturan yang memikat dari Jhumpa Lahiri.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjU5RaXBaE8tDmfVdmqbgUS4JRJ7IvmBrV1d6UAV4RwoX2ShjFovPf_oI685HWMpyrdTNpr1BipzL0YytFCehkP99Lowhc0UqFkeze4QRD3mcxtHkloQ0eeyQUpvxpNqdftsUjB6urMtzrr/s200/KiteRunner.jpg)
Penulis: Khaled Hosseini
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penyunting: Pangestuningsih
Penerbit: Qanita, Cetakan II: April 2006 (Cetakan I: Maret 2006)
Kita tak akan pernah bisa mengubur masa lalu. Terlebih pada masa lalu yang menerbitkan rasa bersalah. Rasa bersalah dan penyesalan inilah yang terus menghantui Amir dan memberinya insomnia. Yang menjadikan layang-layang baginya memiliki arti tersendiri. Yang membawa ingatannya pada teman-pelayan masa kecil--Hassan, pada ayahnya--yang dipanggil dengan Baba--, pada Kabul, Afghanistan. Dan terutama pada peristiwa yang menimpa Hassan. Sesudah Hassan berkata, "Untukmu, keseribu kalinya!"
Adakah kesempatan untuk menebus rasa bersalah itu? Untunglah ada, dengan adanya panggilan telfon dari Rahim Khan--sahabat Baba, yang tinggal di Pakistan. Dan ternyata, dalam perjalanan ke Pakistan dan kemudian ke Afghanistan, Amir mendapatkan kebenaran baru lainnya.
Amir yang terlahir dari etnis Pashtun, memiliki segudang keberuntungan yang tidak dimiliki etnis Hazara, yaitu etnis asal Hassan. Masalah yang timbul akibat perbedaan etnis sudah terasakan sejak anak-anak masih kecil. Hassan digambarkan selalu berbuat baik dan membela Amir. Sedangkan Amir kecil digambarkan menggapai-gapai cinta Baba, membalas kebaikan Hassan dengan kejahilan, dan Amir bersifat pengecut. Amir bahkan melakukan tindakan tidak terpuji yang pada akhirnya membuat Ali-ayah Hassan-- memutuskan untuk meninggalkan rumah orang tua Amir.
Kehidupan masa kecil yang menyenangkan bagi seorang Pashtun berakhir setelah Uni Soviet menginvasi Afghanistan. Amir dan Baba pindah ke Amerika Serikat dan meneruskan hidup mereka di sana. Bersama dengan orang-orang Afghanistan lainnya, hidup mereka jauh dari kemewahan. Tapi begitulah, rasa bersalah dan penyesalan terus mengikuti Amir.
Dalam perjalanan kembali ke Afghanistan, Amir menyaksikan Kabul yang dipenuhi reruntuhan dan kemiskinan. Berkuasanya Taliban ternyata juga tidak memberi kehidupan yang lebih baik bagi Afghanistan dan juga etnis Hazara. Etnis Hazara dibantai di Marza-i-Sharif. Ethnic cleansing oleh Taliban. Sebagian besar etnis Hazara adalah Muslim Syiah.
Bisakah menebus rasa bersalah akibat perbuatan "membalas air susu dengan air tuba"? The Kite Runner bercerita tentang hal ini, sambil bercerita tentang Afghanistan dan orang-orang Afghanistan. Menjadikan kisah Amir, Hassan, dan Baba, dan orang-orang di sekitar mereka, tertanam dengan kuat di benak saya. Mungkin karena Amir, Baba, Soraya--istri Amir--, adalah manusia-manusia biasa dengan segala kebaikan dan keburukan? Menjadikan saya meng-google Afghanistan, Taliban, Hazara, dan membuka atlas mencari letak Afghanistan dan kota-kotanya. The Kite Runner terus terngiang-ngiang di kepala.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFq9AYp_wAZundQiTdwvKzgvtOUtXOSfXPdzAu4T4sXTZO2ZRql_Swmp7hft3ssfIQs31VIKqv4N0RdEJyxo2g-vS2CiQFx50bXoc-p0qUFi68-TzZL4AOfIwX6V2MFlgjgftXk4qUW6wa/s200/Snapshot+2007-11-10+00-44-30.jpg)
Satu alternatif lain untuk meng-katalog-kan koleksi buku tersedia di BookBump. Proses sign-up dan sign-in sangat mudah.
Penyajian koleksi buku dibuat mirip iTunes. Secara default sudah tersedia folder Books dan folder Favorites. Mirip iTunes yang bisa membuat playlist, di BookBump kita bisa membuat booklist.
Menambahkan buku ke dalam library, kita tinggal mengetikkan ISBN. Seperti layaknya penggunaan Mac, memasukkan buku ke Favorites juga tinggal 'drag and drop' saja, ceunah. Secara asal-asalan saya memasukkan "One Hundred Years of Solitude" ke dalam Favorites, tetapi ketika saya hapus ternyata tidak kunjung terhapus :(( Kemudian, saya ingin memasukkan "Nurtured by Love" ke dalam Favorites dengan men-drag and drop. Eh, ternyata Favorites tidak nambah-nambah. Wah dobel bete deh :(( :((
Keunggulan lain dari BookBump adalah bisa memberikan informasi tambahan mengenai buku yang dipinjam atau buku pinjaman (kalau kita meminjam). Di samping itu, katanya juga bisa membuat 'daftar pustaka' dalam berbagai model. Berhubung saya bukan anak sekolahan, maka fasilitas 'bibliografi' ini belum saya jajal :p
Sedangkan kelemahan BookBump: yang terutama adalah entry data hanya bisa dilakukan untuk buku-buku yang sudah masuk ke dalam database BookBump (seperti My Library - Google yang hanya bisa meng-input data untuk buku-buku di database-nya). Buku-buku berbahasa Indonesia rasanya sangat tipis kemungkinan sudah masuk ke dalam database BookBump. Judul beberapa buku tidak muncul di daftar (seperti One Hundred Years of Solitude dan The Origami Handbook) meskipun di info muncul lengkap dengan cover. Eh, cover The Origami Handbook juga tidak ada ding.
Rencananya sih, BookBump juga akan ada fitur social networking dan fitur-fitur lain. Tapi seperti apa bentuk networking-nya, tidak dibocorkan. Apakah seperti Library Thing yang memberikan info sekian orang punya buku yang sama. Ataukah seperti goodreads atau Shelfari yang ada info tentang "friend", dengan model invite-meng-invite? Sayangnya juga, tidak (belum?) ada script untuk dipasang di blog atau situs web pribadi agar bisa nge-link ke koleksi kita di sini.
Secara umum, BookBump paling mendekati "cita rasa Mac" dengan drag and drop, icon button "+" dan "-", kemudahan-kemudahan yang ditawarkan khas Apple. :))
via lifehacker
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhN5ZEhgSfndQMLc5uA_GjWb8Umi481ePnM0eNTKs3CUo631lIIP0kSgTEjQg68BjjYKhyphenhyphen96_WluC13t0GWkr9KY09NCRlaqUDJEhggKETfuBJX0H58ZE6t1g4tq1Rf5e30vgLf7O5Mr6rW/s200/GLLO1742.jpg)
Judul asli: Interpreter of Maladies
Penulis: Jhumpa Lahiri
Alih bahasa: Gita Yuliani K.
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006
Ada 9 cerita yang berbeda. Semuanya dengan tokoh dari etnis Bengali dan sebagian besar cerita berlokasi di Amerika Serikat. Cerita-cerita mengenai perantau Bengali memperlihatkan bahwa sedikit banyak budaya Bengali mewarnai kehidupan mereka di Amerika.
Persoalan yang diangkat bermacam-macam. Ada masalah komunikasi suami-istri (dalam Masalah Sementara), yang membuat saya sedikit mengevaluasi komunikasi kami suami-istri.
Ada masalah kebangsaan antara India dan Pakistan yang akan/sedang terpisah dengan Bangladesh (Ketika Mr. Pirzada Mampir Makan Malam). Menarik membaca penuturan Lilia, yang merasakan banyak persamaan antara ayahnya dan Mr. Pirzada yang Muslim.
... Orangtuaku dan Mr. Pirzada bicara dalam bahasa yang sama, menertawakan lelucon yang sama, wajah mereka pun agak mirip. Mereka melahap manisan mangga setiap kali makan, dan makan nasi dengan tangan setiap malam. Seperti orangtuaku, Mr. Pirzada ...
Namun, ayah Lilia khawatir jika tanpa sengaja Lilia menyebut Mr. Pirzada sebagai orang India dan membuat Mr. Pirzada tersinggung.
... "Mr. Pirzada orang Bengali, tetapi dia Muslim, ayahku memberitahu. "Jadi dia tinggal di Pakistan Timur, bukan di India." ...
Ah, masalah separatisme yang membuat pedih semua bangsa.
Ada masalah perselingkuhan, rindu kabar dari tanah air, ataupun pengalaman di negeri orang--yang kemudian menjadi negeri sendiri.
Sedangkan cerita yang berlokasi di India membawa kita ke dalam suasana kehidupan orang India. Ya iyalah..
Buku Interpreter of Maladies memenangkan Pulitzer Prize tahun 2000.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigjB7_eciK-PGMaiTnF1vt5PnRavtESm-_wGlSjtZsMGUlRx6muXplHlzcvpJEc4DsD2yFcDf58qsMtwPXSV5H_KwJy5ZulPg71HNp_NiRbCCDwalLbAn22ULtk5766eCkj1zEyI3geAuc/s200/168jam.jpg)
Penulis: Meutya Hafid
Penulis Pendamping: Mauluddin Anwar, A. Latief Siregar, Ninok Laksono
Penyunting: Hermawan Aksan
Kata Pengantar: Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit: Hikmah (PT. Mizan Publika)
Cetakan I, September 2007
Jika melihat Meutya Hafid di layar kaca, otomatis ingatan kita akan terbawa pada peristiwa penculikan dirinya dan rekan kerjanya di Irak. Tidak terasa, peristiwa itu ternyata sudah lebih dari dua tahun yang silam.
Tepatnya hari Selasa, 15 Februari 2005, sekitar pukul 12 siang waktu Irak atau pukul 4 sore WIB, di pom bensin di Ramadi, Meutya Hafid dan juru kamera Budiyanto, serta Ibrahim--pemilik mobil sewaan dari Yordania, diculik oleh Mujahidin. Dengan mata ditutup, dalam 2 jam perjalanan mobil, mereka dibawa ke sebuah gua kecil di tengah gurun.
Beberapa kali membacakan berita penyanderaan serta sempat mewawancarai Casingkem dan Istiqomah--dua orang TKI yang juga pernah disandera di Irak--, Meutya Hafid mengalami sendiri penyanderaan itu. Di dalam buku 168 Jam Dalam Sandera, Meutya Hafid mengenang kembali dan menuturkan hal-hal yang terjadi selama ia dan Budiyanto serta Ibrahim berada di tangan penyandera.
Meutya dan Budi berada di Irak untuk meliput pemilu di sana. Sebenarnya mereka sudah keluar dari perbatasan Irak, tetapi kantor Metro TV ternyata meminta mereka kembali masuk ke Irak, kali ini untuk meliput peringatan hari Asyura. Mereka pun mengurus visa di Kedutaan Irak di Amman. Sayang, mereka masuk Irak kembali melalui jalur darat. Andaikan lewat jalur udara.. Belum sampai ke Bagdad, mereka diculik.
Dengan sangat baik Meutya Hafid menceritakan peristiwa demi peristiwa selama mereka berada di gua, berinteraksi dengan penyandera, berita pembebasan setelah penyandera melihat pernyataan dari Presiden RI, saat-saat yang menegangkan ketika meninggalkan gua dan karena belum bisa keluar dari Irak, sampai akhirnya mereka sampai ke Wisma Indonesia di Amman, diterima Presiden di istana, dan penyambutan oleh rekan-rekan kerja di Metro TV. Editing buku ini juga sangat baik; pengalihan antara flashback-flashback dan kisah penyanderan serta suara hati berjalan sangat mulus. Flashback-flashback meninggalnya Ayah, masa kecil dan sekolah di Singapura dan Australia, penugasan di Metro TV, semakin memperjelas sosok seorang Meutya Hafid.
Meutya masih merasa "beruntung" berpasangan dengan Budi ketika musibah terjadi. Budi selalu berusaha membuat Meutya tersenyum pada saat tersulit sekalipun. Cara pikir Budi tidak rumit dan melihat persoalan dari titik pandang yang berbeda dari Meutya. Sedangkan Ibrahim dipandang sebagai 'paling bisa mencairkan suasana'. Meutya sendiri? Meutya tampak taktis dan diplomatis, serta pandai bersahabat dengan siapa saja. (Kesan saya dari membaca buku ini lho.., tidak kenal Meutya secara pribadi si..).
Buku ini dilengkapi dengan foto-foto, serta dilampiri tulisan Don Bosco Salamun--Pemimpin Redaksi Metro TV 2004-2005 dan Dr. R. M. Marty M. Natalegawa--waktu itu Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI. Syukurlah, penyanderaan Meutya dan Budi berakhir baik, berkat kerja keras diplomat-diplomat RI, pernyataan Presiden RI, himbauan tokoh-tokoh masyarakat, dan demo-demo di berbagai daerah.
Dan siapakah kelompok Jaish Al Mujahideen, penyandera jurnalis-jurnalis TV Indonesia ini? Mereka bukan pendukung Saddam Husein, tetapi tidak berarti mereka sudi dijajah Amerika. Mereka tidak sevisi dengan Al-Qaidah, tetapi sepakat untuk sama-sama mengusir Amerika.
Mudah-mudahan Irak dan negara-negara terjajah lainnya bisa segera memperoleh kemerdekaannya kembali. Mudah-mudahan penjajahan dan kekerasan antar bangsa bisa segera lenyap dari muka bumi ini. Make peace not war!
![](//1.bp.blogspot.com/_MOwQI1mHYBQ/Rx3aHr8zFJI/AAAAAAAAAEI/BKplTAlHURs/s200/LeavingMS.jpg)
Penulis: John Wood - Pendiri Room to Read
Penerjemah: Widi Nugroho
Penyunting: Hermawan Aksan, Salman Faridi
Penerbit Bentang (PT. Bentang Pustaka)
Cetakan I, Agustus 2007
Tahun 1998, John Wood sudah menjabat direktur pemasaran untuk wilayah Asia-Pasifik di Microsoft di Sidney, ketika perjalanannya ke Nepal membawanya mengunjungi sekolah miskin dengan perpustakaan yang memiliki tidak lebih dari dua puluh buku. Buku dianggap berharga dan disimpan di sebuah lemari kaca yang dikunci. Dan harta karun yang dianggap berharga tadi adalah buku-buku usang yang dibuang para turis berransel; buku yang tidak layak baca untuk murid-murid sekolah itu. Contohnya adalah cerita roman Danielle Steel dengan sampul buku sepasang lelaki-perempuan yang sedang berpelukan erat penuh gairah dan setengah telanjang, atau sebuah novel tebal karya Umberto Eco yang ditulis dalam bahasa Italia. Hal ini menjadi keprihatinan John Wood. Angka buta huruf di Nepal 70 persen, yang tertinggi di dunia.
Semangat John Wood untuk membangun perpustakaan rupanya berakar dari kegemarannya membaca. Bisa dibilang, sejak kecil John Wood adalah kutu buku. Dalam perjalanan bersama keluarga, John akan tenggelam dalam bacaannya sementara saudara-saudaranya saling pukul di dalam mobil. Karena anggaran orangtua terbatas untuk membelikan buku-buku, John dibelikan sepeda. Dan dengan sepeda itu, ia ke perpustakaan setiap minggu. Perpustakaan itu hanya mengizinkan delapan buku untuk dibawa ke luar sekali pinjam. Tetapi John melakukan "pdkt" ke petugas perpustakaan sehingga berhasil menaikkan batas pinjaman menjadi dua belas buku.
Di Kathmandu, John mengirim e-mail ke semua kontaknya tentang bantuan buku untuk Nepal. Tempat pengumpulan buku di Amerika Serikat adalah di rumah orang tua John. John mengira akan menerima 100-200 buku. Tetapi, ayah John meng-email dan memperkirakan sudah menerima sekitar 3000 buku. Satu mobil sudah harus dikeluarkan dari garasi untuk menampung buku-buku tersebut. Terkirim 37 kotak buku ke Nepal seberat 967 pon. Beberapa bulan kemudian, John dan Woody (ayah John) ke Nepal, menyewa 8 keledai, mendaki jalan terjal berliku untuk mengantarkan buku-buku tersebut ke sekolah yang pernah dikunjungi John.
John mendapat tugas baru di Beijing sebagai direktur pengembangan bisnis untuk wilayah Cina Besar. Selama John di Australia, Microsoft Australia telah dipilih oleh pembaca BRW--majalah bisnis paling berpengaruh di Austrailia-- sebagai perusahaan Australia kedua yang paling dihormati. Yang nomor satu adalah Qantas. Sekarang di Cina, John menginginkan image 'Microsoft versi Cina". Pada saat kunjungan Bill Gates ke Cina, John mempersiapkan briefing untuk wawancara TV dengan jawaban-jawaban spesifik tentang Cina. Sayang, Bill Gates mengecewakannya; Bill Gates memberikan jawaban-jawaban yang umum tentang Cina, tidak seperti yang telah dipersiapkan John. John berpikir bahwa anak-anak Nepal lebih membutuhkannya daripada majikannya.
John keluar dari Microsoft dan mendirikan organisasi nirlaba "Books for Nepal". Tantangannya adalah mencari dana untuk melaksanakan proyek. Tidak ada dana masuk berarti tidak ada program. "Books for Nepal" (kemudian menjadi "Room to Read") mengembangkan model investasi komunitas setempat, bisa berupa bahan bangunan atau tenaga kerja, di samping dana bantuan dari "Room to Read". Model ini membuat penduduk setempat memiliki sense of belonging pada perpustakaan atau sekolah yang dibangun.
Di dalam presentasi penggalangan dana, daripada membicarakan apa yang akan dilakukan, John membicarakan apa yang telah dikerjakan. Email signature John berisi angka-angka pencapaian "Room to Read" yang diperbarui terus-menerus. Biaya operasional organisasi ditekan serendah mungkin sehingga donatur bisa melihat bahwa dari setiap dolar yang disumbang, 90 sen akan menjadi perpustakaan, sekolah, lab komputer, atau beasiswa untuk anak perempuan.
"Room to Read" sudah berekspansi ke Vietnam, Kamboja, India, Sri Lanka (di website juga tertulis: Laos, Afrika Selatan, Zambia). Cabang-cabang "Room to Read" terus berkembang di Amerika Serikat, sedangkan cabang internasional sudah ada di Milan, Paris, Sidney, London, Hongkong.
Kemampuan John Wood dalam mengembangkan "Room to Read" sedikit banyak terasah ketika bekerja di Microsoft, yakni dalam gemblengan Steve Balmer yang berorientasi pada 'data dan kinerja'. Setiap manager di Microsoft harus memahami setiap keping data hingga taraf angka-angka itu terpatri ke dalam otak mereka.
Kini, dalam usia yang sudah 40 tahun, John Wood masih belum mempunyai rumah. Tapi ia merasa beruntung mengenal siapa dirinya, apa yang ingin difokuskan, dan ukuran-ukuran yang diperlukan untuk menilai diri sendiri.
"Room to Read" telah mendirikan 2.300 perpustakaan di 6 negara berkembang, lebih dari 200 sekolah, 50 lab komputer dan bahasa, 1.700 beasiswa jangka panjang untuk anak perempuan, dan sejuta buku.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVFiS5Zui4yBP_090DtpALct5uqcGO-3vmghGOCsKz_QHv2sFcdBvEO5fcvZ3yumDtNVpvRvC71v3Ho8H2CSa2XWTnOFIt4oLplFFmnrFIxdiBExklacYoMdQeRHSaW03oRxW0DyG6L43t/s200/tahajud.jpg)
Penulis: Agus Mustofa
Penerbit: PADMA press - Padang Makhsyar
Cetakan: ketiga (10 Maret 2006; cetakan I: 5 Desember 2005)
Ibadah shalat dan puasa dilaksanakan pada waktu-waktu yang sudah ditentukan:
QS. Al Baqarah (2): 238
Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.
QS. Al Israa' (17): 78-79
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.
QS. An Nisaa (4): 103
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
QS. Al Baqarah (2): 183-185
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kewajiban, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quraan sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
QS. Al Baqarah (2): 187
..., dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,... Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Di wilayah-wilayah tropis, perbedaan siang dan malam hari relatif jelas. Lama waktu siang dan malam hari relatif sepadan, masing-masing sekitar 12 jam. Waktu-waktu shalat pun berkisar sekitar 1 jam sampai 8-9 jam.
Tetapi di wilayah-wilayah yang terletak makin ke utara dan ke selatan, lama waktu siang dan malam hari akan berbeda tergantung musim. Pada musim panas, di St. Petersburg (yang sempat berganti nama menjadi Leningrad) -- di sebelah utara Moskow--, matahari masih menyinari kota meskipun jam menunjukkan pukul 00.30. Suatu kondisi yang disebut sebagai white night atau bilii nosii dalam istilah setempat. Di sebelah utara Helsinki, Finlandia, matahari hanya tenggelam selama 1 jam. Di daerah sekitar Kutub Utara atau Kutub Selatan, matahari bahkan tidak tenggelam atau tidak terbit selama beberapa bulan.
Di angkasa luar, matahari akan terlihat terus sepanjang hari. Penumpang pesawat angkasa luar tidak akan menemui "hari" karena tidak ikut perputaran bumi. Satu hari adalah rotasi bumi selama 24 jam.
Jika berada di daerah-daerah non-tropis atau jika menjadi turis luar angkasa, kapankah kita shalat dan berpuasa? Apakah berpuasa sepanjang hari jika matahari terus-menerus bersinar? Apakah tidak shalat maghrib, isya, dan tahajud jika matahari tidak tenggelam?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Agus Mustofa mengajak pembaca untuk merenungkan mengenai Islam, makna ibadah dalam ruang dan waktu, serta ibadah wajib dan sunnah.
QS. Al Baqarah (2): 177
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Di akhir bab, Agus Mustofa menyampaikan 3 alternatif pendekatan untuk menentukan waktu-waktu shalat pada daerah-daerah non-tropis dan luar angkasa.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipi81vTkW0KE3K1Fa8RyJfS-StaltDxLg0j2aCJ66QE1RK7qUa0cfp709_9VpnElpfEHt4-pdTQxqBbI1WYPIEGbUKm7xbGDtj6-61FzY-3VsYURdvoL7i0mMGGiH_R8XF6nOSw6SX4dpM/s320/Snapshot+2007-09-07+13-59-49.jpg)
Beberapa hari yang lalu ketika sudah sign in di iGoogle, saya menyadari ada link 'My library' di samping link 'My Account'. Ternyata 'My library' adalah bagian dari Google Book Search.
Coba ah.. memasukkan daftar buku ke 'My library', dan ternyata caranya sangat mudah; yaitu klik 'Import books,' ketik daftar ISBN dari buku-buku yang akan di-impor, klik 'Import', dan tara... muncullah koleksi kita.
Cuma sayangnya, buku yang bisa ditambahkan ke dalam koleksi 'My library' adalah buku-buku yang data ISBN-nya sudah tersimpan di Google Book. Kalau belum, maka buku tersebut tidak bisa ditambahkan ke dalam 'library'.
Saya mencoba memasukkan ISBN buku Untaian Duka Taburan Mutiara yang ditulis Dyah Puspita, ternyata Google Book tidak dapat menambahkan buku tersebut ke library saya. Kemudian saya mencoba memasukkan ISBN buku Renungan dan Perjuangan, dan lho.. ternyata bisa.
Bagaimana supaya data ISBN buku tersimpan di Google Book Search? Saya duga yang bisa memasukkan data buku termasuk ISBN adalah partner-partner Google di Google Book, yaitu publisher, author, dan library yang berpartisipasi. Di luar itu, sepertinya tidak bisa meng-input atau meng-edit data suatu buku. Tidak seperti di Library Thing misalnya, kita bisa memasukkan data secara manual.
Untuk keperluan menginventarisasi koleksi buku secara on-line, 'My library' bisa menjadi pilihan baru. Gratis, tinggal sign in dengan Google Account. Tapi kelemahannya, buku yang dimasukkan ke dalam daftar adalah buku-buku yang datanya sudah tersimpan di Google Book Search. 'Library Thing' juga gratis untuk 200 buku pertama, selanjutnya tanpa batas bayar USD 10 (setahun) atau USD 25 (seumur hidup).
Penerbit, penulis, dan perpustakaan di Indonesia tertarik menjadi partner Google Book Search? Bagi penerbit dan penulis, Google Book bisa menjadi ajang promosi buku. Bagi perpustakaan, bisa menginformasikan buku koleksinya. Hei, koq saya jadi promosi?
Bagi orang awam pengguna Google seperti saya, informasi dari Google Book Search akan semakin menenggelamkan pengguna dengan limpahan arus informasi dari dunia maya. Tapi itu soal lain. Sekarang kita batasi hanya membicarakan 'My library', alternatif baru tempat menginventarisasi buku secara on-line.
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: PT. Bentang Pustaka, Mei 2007
Buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi-Sang Pemimpi-Edensor-Maryamah Karpov berisi potongan-potongan mozaik Ikal dan Arai, sebagian kecil di Belitong dan yang besar sisanya di Eropa dan Afrika. Seperti Sang Pemimpi, bagian-bagian cerita disebut sebagai mozaik.
Potongan-potongan mozaik susul menyusul. Yang mengharukan, yang menyenangkan, yang menyedihkan, yang seru, yang bikin manggut-manggut, yang sulit dipercaya (masa sih ada yang seperti ini?), yang biasa-biasa saja.. Kemudian, ternyata ada potongan mozaik yang tidak disangka-sangka bertautan dengan potongan mozaik lainnya.
Mozaik-mozaik yang bukan lagi impian, melainkan sudah menjadi kenyataan! "Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu." (Arai)
Untaian mozaik yang mengasyikkan untuk diikuti, menemani saya dalam penyeberangan speed boat Nunukan-Tarakan dan penerbangan Tarakan-Jakarta.
Hanya saja, ada sedikit koreksi untuk buku ini, yaitu Presiden Amerika Serikat pembebas perbudakan bukanlah Benjamin Franklin (halaman 213), melainkan Abraham Lincoln. Sedangkan Benjamin Franklin adalah salah seorang founding father Amerika Serikat, salah seorang manusia dengan multi minat dan talenta. (heheh, sok tahu ya.. cmiiw)
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit Bentang, cetakan ke-5: Februari 2007 (cetakan I: Juli 2006)
"Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. ..."
Itulah mimpi yang dihembuskan Pak Balia (Drs. Julian Ichsan Balia), kepala sekolah sekaligus guru sastra SMA Negeri di Belitong Timur, tempat Ikal, Arai, dan Jimbron bersekolah.
Sang Pemimpi berisi deretan mozaik kehidupan Ikal dan sepupu jauhnya Arai ketika bersekolah di SMA dan merantau ke Jawa (Arai kemudian ke Kalimantan). Bukan kehidupan yang serba mudah, tetapi kehidupan yang diisi dengan kerja membanting tulang mencari nafkah, kebaikan para sahabat, pengungkapan cinta, dan diselingi dengan pelanggaran larangan guru sekolah (menonton film di bioskop)!
Namun, setinggi-tingginya mimpi itu, Ikal sempat membayangkan dirinya, Arai, dan Jimbron menjadi pelayan restoran mi rebus, atau kernet omprengan reyot, atau memikul karung buah kweni dalam pakaian compang-camping. Tidak jauh berbeda dengan nasib Lintang--temannya di sekolah yang dulu. Ikal yang pemimpi berubah menjadi Ikal yang realis dan sayangnya sekaligus pesimis. Nilai-nilainya merosot tajam sehingga ayah Ikal yang biasanya duduk pada kursi nomor 3 sekarang harus duduk di kursi nomor 75. Meskipun demikian, ayah Ikal tetap datang ke sekolah dengan kebanggaan yang sama, dengan baju safari harum pandan dan mengayuh sepeda sejauh 30 km. Untunglah pada saat Ikal lulus SMA, ayahnya bisa duduk di kursi nomor 2--untuk Arai-- dan kursi nomor 3--untuk Ikal. 'Ayah juara satu seluruh dunia', kata Ikal.
Setelah selesai membaca buku ini, rasanya ingin sekali merekomendasikan buku ini untuk anak-anak sekolah. Rasanya ingin agar anak-anak sekolah di seluruh pelosok Indonesia ketularan bermimpi dan berusaha mewujudkan mimpi itu. Sayangnya, menurut saya, mozaik 10 tentang hukuman guru bercerita tentang hukuman yang kejam, tidak sopan, dan tidak mendidik, dan karenanya tidak sesuai untuk bacaan anak sekolah. Andaikan tidak ada mozaik 9 dan 10, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca anak-anak sekolah SD sampai SMA.
Bagaimanapun, salut dan selamat kepada Ikal dan Arai dengan perjalanan panjangnya menuju Sorbonne, dan juga kepada Jimbron yang dengan kebaikan hatinya punya cara sendiri membantu mewujudkan mimpi itu.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxs9IEjBRZxnJgySNjcZSiVdyzXXDRahl_6kbD8lZqeNxxisFt-bM3L6TKOHnY3NDVzN4Fva2IuHRdtTqcH-WgrlxvkHyiaL1lIn4n8RvVu6BSb4papBsEJhAJJUuE7b2De6JsADHFaGXA/s200/laskarp.jpg)
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: PT. Bentang Pustaka, cetakan keenam Februari 2007 (cetakan pertama September 2005)
Masa kecil anak-anak Melayu yang beraneka warna seperti pelangi di pulau timah Belitong; itulah kisah Laskar Pelangi. Laskar Pelangi terdiri dari 10 anak yang bersekolah di SD dan SMP Muhammadiyah di kawasan perkotaan Belitong.
SD dan SMP Muhammadiyah adalah sekolah miskin yang kekurangan guru. Hanya 2 orang guru yang mengajar di sana dengan penuh dedikasi, kasih sayang, dan kelembutan, yaitu Bapak Harfan (kepala sekolah) dan Ibu Mus. Sebagian besar murid SD Muhammadiyah bersekolah mengenakan sandal. Mereka bahkan tidak mengenakan seragam.
Kemelaratan mewarnai kehidupan Laskar Pelangi. Sebagian besar orang tua mereka adalah buruh PN Timah, selain nelayan (orang tua si genius Lintang) dan orang Tionghoa kebun (orang tua A Kiong).
Kontras dengan kehidupan sosial-ekonomi Laskar Pelangi adalah kehidupan di kawasan Gedong, yaitu kawasan perumahan para staf PN. Timah yang sudah dibangun sejak jaman Belanda. Kawasan Gedong adalah kawasan enclave dengan tembok tinggi di sekelilingnya dan satu gerbang masuk dan keluar. Gedong memiliki sekolah sendiri khusus untuk anak-anak yang menghuni kawasan tersebut. Tentu saja sekolah Gedong adalah sekolah yang "wah".
Laskar Pelangi yang mewakili anak-anak Melayu miskin, yang menyaksikan kehidupan mewah di Gedong di depan mata mereka, adalah anak-anak ceria yang menikmati kehidupan. Kisah mereka membuat iri karena lebih seru dan tidak biasa-biasa saja. Atau ini seperti melihat rumput tetangga yang tampaknya koq lebih hijau? Hmm, mungkin juga.., bisa jadi..
Empat bab terakhir menceritakan kondisi Laskar Pelangi 12 tahun kemudian. Ternyata nasib mereka juga seperti pelangi yang beraneka warna. Ah, seandainya Lintang... Trapani, mengapa tidak melepaskan diri dari Ibunda? Atau mungkin, Ibunda Trapani yang tidak bisa melepaskan diri dari anaknya??? Hmm, pertanyaan-pertanyaan ini sebaiknya tidak dilontarkan???
Buku Laskar Pelangi yang enak dibaca ini memberikan sumbangan dokumentasi bagaimana anak-anak Melayu di Belitong dibesarkan. Bagaimanakah anak-anak Indonesia di berbagai pelosok negeri tumbuh dan berkembang? Kita memerlukan "Andrea Hirata - Andrea Hirata" lain untuk menuliskan kisah anak-anak Indonesia dari berbagai sudut negeri.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkw0os24raq5Ac1N5roCRNHPrbcQzLg3q1DbCJvn1-bRlvrqbXyocAcQy2IDTD0mJsWoTQzbsSLd0fZhG2yqZeWjw_FsFXETwvU3zwCxdE-RSvehB1EjSKm-yeC4bWwiJRaAF9tzbBQmQR/s200/SSr.jpg)
Judul Asli: bagian I - Indonesische Overpeinzingen dan bagian II - dari Out of Exile
Penulis: Sutan Sjahrir
Penerjemah: HB. Jassin
Penyunting: SW. Sjahrir
Pengantar: Charles Wolf Jr.
Catatan Akhir: Soedjatmoko
Penerbit: Djambatan & Dian Rakyat, 1990
Bagi generasi muda (dan setengah tua) Indonesia, yang lahir sesudah tahun 1960-an, nama Sutan Sjahrir barangkali hanya dikenal sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia. Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri sejak 13 November 1945 sampai dengan 27 Juni 1947--kecuali selama satu bulan dalam tahun 1946. Ketika itu, sistem pemerintahan beralih dari kabinet presidentil menjadi kabinet parlementer.
Pentingnya posisi Sutan Sjahrir dalam kepemimpinan bangsa Indonesia di masa sekitar kemerdekaan juga diabadikan Chairil Anwar di dalam salah satu bait Krawang - Bekasi berikut:
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Upaya mengenal Sutan Sjahrir lebih dekat, bisa diperoleh dengan membaca salah satu karya Sjahrir Renungan dan Perjuangan ini. Selama dan setelah membaca karya ini, betapa saya jadi kagum pada Sjahrir. Beliau adalah seorang pembelajar dan pemikir. Sutan Sjahrir, Bung Hatta, Bung Karno, dan mestinya juga pemimpin-pemimpin lain pada waktu itu, adalah manusia-manusia pembelajar dan juga pemikir.
Buku Renungan dan Perjuangan terdiri dari 2 bagian. Bagian I : Renungan Dalam Tahanan adalah terjemahan dari Indonesische Overpeinzingen, yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1945. Sedangkan Bagian II : Aksi adalah tulisan Sutan Sjahrir yang ditulis atas permintaan Charles Wolf, Jr untuk dimuat dalam Out of Exile, yang diterbitkan di New York tahun 1948. Keseluruhannya diterjemahkan oleh HB. Jassin.
Naskah asli Renungan Dalam Tahanan adalah surat-surat Sutan Sjahrir kepada istrinya dan esai-esainya ketika Sjahrir ditahan di penjara Cipinang, Jakarta dan diasingkan ke Boven Digoel dan Banda Neira. Surat-surat tersebut bertanggal 29 Maret 1934 sampai dengan 25 Maret 1938. Surat-menyurat terhenti dengan putusnya hubungan Indonesia dan Belanda akibat pecah Perang Dunia II. Ny. Maria Duchateau--istri Sjahrir pada waktu itu yang tinggal di Belanda-- bekerja sama dengan Sutan Sjahsam--adik Sjahrir--, menyunting surat-surat dan tulisan-tulisan Sjahrir tersebut ke dalam bentuk buku harian (kalau sekarang blog?).
Mengingat bahwa pada waktu diterbitkan, belum diketahui apakah Belanda akan berkuasa lagi di Indonesia, maka nama-nama tokoh utama disamarkan. Di bagian belakang buku, disertakan "Daftar Nama Dalam Teks", yaitu nama-nama samaran yang digunakan di dalam buku dan nama asli tokoh yang dimaksud. Seperti Hafil adalah nama samaran di buku ini untuk Mohammad Hatta, dr. Soeribno adalah untuk dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Soebana untuk Mr. Iwa Koesoemasoemantri, Siregar untuk Mr. Amir Sjarifoeddin, atau Abdulrachman untuk Ir. Soekarno.
Sedangkan Aksi mengisahkan kondisi menjelang pecah Perang Dunia II, perjuangan di masa penjajahan Jepang, kemerdekaan dan upaya mempertahankan kemerdekaan melalui perundingan-perundingan dengan Belanda sampai akhir tahun 1947.
Sjahrir tidak hanya menulis tentang pengalaman-pengalamannya di penjara Cipinang, di perjalanan ke tempat penahanan yang baru, maupun di tempat pembuangan, tetapi juga ia menulis tentang pengamatannya atas sikap masyarakat sekitar terhadap sesuatu (misalnya masyarakat buangan di Digoel, kondisi masyarakat di Banda Neira, sikap orang Belanda di Indonesia terhadap Jerman, sikap anti-Belanda orang Indonesia sehingga memandang Jepang sebagai pembebas, dan lain-lain). Ia menyelami batin bangsanya. Sjahrir juga menganalisis berbagai peristiwa di Indonesia dan dunia. Sjahrir memantau berita-berita luar negeri dari siaran radio dan suratkabar.
19 Agustus 1937 - Sepanjang pengamatanku, seluruh penduduk Islam di Indonesia sekarang ini pro-Jepang. Jepang makin lama makin populer, seperti dulu demikian halnya dengan Jerman. Aku selalu mencoba meyakinkan orang-orang di pulau ini, bahwa orang Jepang bukan malaikat-malaikat, dan bahwa apa yang dilakukannya sekarang ini tidak lain dari suatu perjalanan perampokan secara besar-besaran. Aku yakin bahwa sekali waktu, Jepang akan menarik keuntungan dari simpati yang besar bangsa Indonesia terhadapnya itu. Bukan saja di pulau Banda ini, tapi di seluruh Indonesia, sampai ke kampung-kampung yang terpencil, orang ...
Di samping penggunaan nama-nama samaran, buku Sjahrir ini juga tidak banyak menyebutkan nama-nama orang. Contohnya adalah tidak disebutkannya nama anak-anak angkat Sjahrir yang turut dibawanya ke Jawa dari Pulau Banda. Nama anak-anak angkat Sjahrir justru saya ketahui dari buku Memoir - Mohammad Hatta. Apakah ada hubungannya dengan cara kerja Sjahrir yang di bawah tanah?
Dari buku Renungan dan Perjuangan yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ini, pembaca--generasi penerus bangsa Indonesia-- mendapat informasi kondisi Indonesia yang pada waktu itu dijajah Belanda dan kemudian Jepang, dan upaya-upaya bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Sutan Sjahrir memberi teladan pada kita.
...
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan harapan
atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
...
(Chairil Anwar, Krawang - Bekasi)
Judul asli: Anna Karenina
Penulis: Leo Tolstoi
Penerjemah: Koesalah Soebagyo Toer
Penyunting: Candra Gautama
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007
Anna Karenina dalam bahasa Indonesia ini adalah penerjemahan langsung dari bahasa aslinya, yaitu bahasa Rusia. Di sampul belakang buku ditulis sebagai berikut: Anna Karenina sampai sekarang masih terus disalin dan diterbitkan dalam berbagai bahasa. Hingga akhir abad ke-20, novel ini telah diterjemahkan dan diterbitkan 625 kali dalam 40 bahasa (tidak termasuk bahasa aslinya). Dalam bahasa Inggris saja, hasil terjemahan yang berbeda pernah dicetak 75 kali, Belanda 14 kali, Jerman 67 kali, Prancis dan Itali 36 kali, Cina 15 kali, dan Arab 6 kali. Terjemahan Indonesia ini sendiri dilakukan dua kali oleh penerjemah yang sama, Koesalah Soebagyo Toer, langsung dari bahasa Rusia.
Sampai sebegitunya? Tapi setelah membaca buku ini, walaupun baru selesai jilid I (karena baru terbit yang ini?), jelaslah mengapa buku ini sampai diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam berbagai bahasa sampai puluhan kali. Detail cerita dan cara serta gaya bercerita Leo Tolstoy memang luar biasa, kreatif, dan cerdas.
Plot cerita Anna Karenina sebenarnya tidak istimewa, yaitu seorang istri sekaligus ibu--ya, Anna Karenina ini-- yang berselingkuh. Latar belakang cerita adalah kehidupan bangsawan Rusia di abad ke-19, dengan kehidupan yang sepertinya bersenang-senang dengan adanya pesta-pesta, bertamu ke rumah sesama bangsawan, ke pacuan kuda, bepergian ke kota lain atau ke pedesaan, bahkan ke luar negeri (Eropa).
Para tokoh bepergian mondar-mandir antara Moskwa dan St. Petersburg (berapa km?). Daerah pedesaan diwakili oleh tempat tinggal Levin, teman dan sahabat Stepan Arkadyich (Stiva Oblonskii). Nah, kakak Stiva inilah Anna Karenina.
Para bangsawan atau kelompok elite Rusia ini mendapat pendidikan bahasa Prancis dan Inggris. Sejak kecil, anak-anak dibiasakan juga untuk berbicara dalam bahasa Prancis, setidak-tidaknya ini yang terjadi di keluarga Stiva dan Dolly (Darya).
Oya, orang Rusia sepertinya mempunyai banyak nama. Lihat saja Stepan Arkadyich atau Stiva Oblonskii. Anna Karenina bernama Anna Arkadevna, sedangkan suami Anna, Karenin, bernama Aleksei Aleksandrovich. Pada awalnya, agak membingungkan juga penggunaan nama-nama ini. Setiap tokoh dapat disebut dengan beberapa nama. Disangka tokoh baru, ternyata tokoh yang sudah muncul :P. Tapi lama-lama paham juga dengan tokoh yang dimaksudkan penulis.
Para bangsawan Rusia tampaknya juga senang ngobrol ngalor-ngidul memperbincangkan sesuatu, termasuk juga ber-monolog, berdiskusi dengan diri sendiri, atau merenungkan sesuatu. Salah satu kekuatan Tolstoy adalah menghadirkan perbincangan-perbincangan, diskusi, ataupun monolog ini, walaupun kadang perbincangan tersebut seperti tidak nyambung, peserta saling melontarkan ucapan yang kadang terputus di tengah jalan.
Yang agak mengganggu pada terjemahan Indonesia ini, bagi saya, adalah munculnya kata "alhamdulillah". Tidak tepat deh karena memiliki konotasi agama Islam. Padahal keyakinan para tokoh di Anna Karenina sepertinya adalah Kristen atau Katolik (atau tidak beriman seperti Levin). Menurut saya, lebih tepat kalau diterjemahkan ke dalam puji Tuhan atau yang sejenis lah.
Terlepas dari ketidaktepatan tadi dan sedikit ketidaktepatan minor di beberapa tempat, terjemahan bahasa Indonesia ini memberi kesempatan penutur bahasa Indonesia untuk menikmati Anna Karenina, yang katanya adalah salah satu karya terbaik Leo Tolstoy. Tidak sabar ni untuk bisa membaca Anna Karenina jilid berikutnya ;)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIdw3h3HZsyuTzSe9RZ0PTdt4hYXR5Wzfhfye5VlU2985jjiwtbj-xiOArxJPfTdTZ5FOYHn1fsRpJN5mf1d5OfF9S55qDTTUzOKzIhgSDN32Li-JZnMkv3vXgZMvsr0l9wd5jCJJEcdIV/s200/LaGrandeBorne.jpg)
Penulis: Nh. Dini
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007
La Grande Borne, sebuah kawasan perumahan di Grigny, di selatan Kota Paris, adalah tempat tinggal Dini sekeluarga sejak akhir musim panas 1970. Di sinilah Dini mengurus rumah tangga, membesarkan anak-anaknya, dan menghadapi masalah ketidaksepahaman dengan suami.
Sebenarnya apa yang diceritakan Dini adalah peristiwa sehari-hari, seperti sekolah anak, ke dokter gigi, berkenalan dengan tetangga, liburan keluarga, mendapatkan SIM, hewan peliharaan, hobby suami, dan lain-lain. Hal-hal yang sederhana, yang sebenarnya juga dialami oleh ibu-ibu rumah tangga pada umumnya. Yang tidak biasa--bagi orang Indonesia-- adalah settingcerita yang di Prancis, di dalam sebuah keluarga campuran ayah Prancis - ibu Indonesia, dengan pekerjaan ayah yang diplomat Prancis dan ibu seorang penulis. Di sini juga diceritakan mengenai map yang berisi naskah-naskah tulisan Dini, yang dibawanya ketika Dini berlibur ke rumah temannya di Belanda untuk menulis. (Jadi membayangkan jaman belum ada laptop dan internet..) Selain itu, juga ada perselingkuhan dan sakit berat yang dialami Dini. Dini menceritakan pengalaman mancanegara-nya dengan warna pribadi seorang perempuan Jawa.
La Grande Borne adalah bagian dari Seri Cerita Kenangan yang disusun Dini. Hmmm.. seperti apa ya buku-buku Seri Cerita Kenangan sebelumnya? Jadi ingin baca buku-buku itu, juga buku La Barka. Coba ah, kalau ke rumah ortu, saya akan cari "La Barka". Siapa tahu ada..
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhycRKcaIEhrUPhXgVF4YocmXJhBnudHJeVB5EZ3LPr6yJQaepVchr0RWc4rqW8oTXIZ5claAwLbGMtKENS9ySHAwTj8gEsQO9bCrPW6OYbot1AWvn4Ak0Eq5s6aRedjwl99C2U8OMV_vQq/s200/Lang1.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipCCiwyRn5t05sCWe7joCwJeHBOxgGv81NR_csPAPeJCVYlnT_s3M57ZKs5cCS2BtwWP4PBhNUXkWbVjXDIuC7swCpZubqenj4OM-5Oy-kS6SeZN-AUpKdTcjIq9reIprWVbOamI3FkmhS/s200/Lang2.jpg)
Judul asli: Losing My Religion: A Call for Help
Penulis: Jeffrey Lang
Penerjemah: Agung Prihantoro
Penerbit: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006
Buku Losing My Religion: A Call for Help adalah buku ketiga Prof. Jeffrey Lang setelah Struggling to Surrender dan Even Angels Ask yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. (Sayangnya, saya malah belum membaca buku-buku Prof. Lang yang pertama dan kedua ini). Di dalam terjemahan bahasa Indonesia, buku Losing My Religion: A Call for Help dijadikan ke dalam 2 jilid buku.
Isinya berangkat dari keprihatinan Prof. Lang mengenai fenomena menjauhnya kaum muslim kelahiran Amerika dan menghilangnya para mualaf dari masjid. Terdapat gejala-gejala yang menunjukkan bahwa generasi muslim mendatang (di Amerika) sedang teramerikanisasi. Mengapa agama Islam dijauhi dan ditinggalkan?
Anak-anak muslim yang lahir di Amerika tumbuh dalam benturan budaya Amerika dan subkultur masjid, dan bagi mereka sulit untuk menangkap relevansi Islam dengan kehidupan nyata mereka. Benturan ini semakin terasa karena anak-anak di sekolah terbiasa bertanya dan menyanggah, sementara masjid-masjid sepertinya tidak mengakomodasi berbagai pertanyaan yang muncul.
Buku ini memuat berbagai pertanyaan yang muncul di benak generasi muda muslim, mualaf, dan perempuan-perempuan muslim di Amerika, baik yang disampaikan melalui surel (e-mail) maupun yang disampaikan langsung kepada Prof. Lang ketika berceramah di suatu tempat. Pertanyaan-pertanyaan yang oleh pihak masjid sepertinya tidak diperkenankan. Sedangkan bagi Prof. Lang, bertanya adalah sah-sah saja. Dan bahkan malaikat pun bertanya! Yaitu ketika Allah memberitahu para malaikat bahwa Allah hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
Mempertanyakan sesuatu atau bersikap kritis tampaknya memang merupakan sesuatu yang natural bagi Prof. Lang, mengingat bahwa Prof. Lang adalah orang Amerika yang lahir, besar, dan mendapatkan pendidikan di Amerika. Sebagai seorang yang masuk agama Islam, Prof. Lang berangkat dari sejumlah pertanyaan, dan juga sebagai seorang muslim Amerika mempunyai segudang pertanyaan sendiri. Itu sebabnya mengapa Prof. Lang tampaknya peka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh generasi muda muslim, para mualaf, dan perempuan-perempuan muslim Amerika. (..eleuh.. eleuh.. sok tahu deh....)
Pendekatan kritis dalam kehidupan beragama ini sesungguhnya menjadi masukan bagi saya. Apalagi, terus terang, saya memang bukan orang yang kritis. Pendekatan keberagamaan saya paling melalui pertanyaan "what's in store for me?" dan kemudian try to live by it (namanya juga try bisa berhasil bisa tidak..), meskipun rasanya saya juga tidak "pasrah-pasrah amat" dengan apa yang tersedia.
Membaca terjemahan Losing My Religion ini menyadarkan tentang masalah yang dihadapi kaum muslim di Amerika, yang rasanya juga dihadapi oleh kaum muslim di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya. Atau jangan-jangan, muslim di Indonesia menghadapi masalah yang jauh lebih berat lagi?
Judul asli: The Google Story
Penulis: David A. Vise dan Mark Malseed
Alih bahasa: Alex Tri Kantjono
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006
Pengguna internet mana sih yang tidak tahu Google? Bisa dipastikan tidak ada yang unjuk jari jika ditanya "siapa yang tidak kenal Google?". Fenomena Google memang "ruarrrr... biasa..." Bagaimana tidak luar biasa jika Google yang berdiri di tahun 1998 dengan produk awal search engine/mesin pencari di internet menjadi perusahaan terbuka di tahun 2004 dengan produk yang semakin beragam (termasuk mengakuisisi Blogger.com) dan diawaki orang-orang muda berusia 30-an awal.
Sergey Brin dan Lawrence Page adalah kandidat-kandidat Ph.D dalam Computer Science di Stanford University. Mereka menciptakan search engine BackRub di tahun 1996 dan menggunakan kamar asrama sebagai pusat data (lihat no. 18 backrub di Yahoo! Netrospective: 10 years, 100 moments of the Web. BackRub beralih nama menjadi Google, yang sebenarnya salah eja karena seharusnya adalah G-o-o-g-o-l. Tapi, apa boleh buat, Larry sudah terlanjur mendaftarkan Google.com.
Larry dan Sergey bertemu di musim semi 1995 pada masa orientasi mahasiswa baru di Stanford. Ketika itu Sergey bertugas sebagai pemandu mahasiswa baru di program pascasarjana untuk berkeliling kampus. Sergey sudah lebih dulu diterima di Stanford. Diceritakan bahwa Sergey mendapatkan nilai A untuk seluruh ujian penerimaan mahasiswa baru program doktor di Stanford (semuanya ada sepuluh ujian). Tiba-tiba Larry dan Sergey mulai berbantahan yang menjadi awal bahwa mereka menemukan lawan tanding intelektual yang seimbang. Perbantahan terus menerus namun dalam suasana persahabatan menjadi landasan kemitraan mereka selanjutnya.
Ayah Larry meraih PhD dan ibunya mempunyai gelar master dalam ilmu komputer. Sedangkan ayah Sergey mengajar matematika di University of Maryland dan ibunya seorang ilmuwan yang sukses di Goddard Space Flight Center milik NASA. Latar belakang keluarga berotak cemerlang dan lingkungan pendidikan di Stanford tampaknya menjadi inkubator berbagai inovasi yang berkaitan dengan internet dan komputer.
Dan jadilah Larry dan Sergey pengusaha muda yang sukses di bidang dotcom. Tentu saja sukses ini didukung oleh penyandang dana di Silicon Valley dan CEO Eric Schmidt yang mengurusi perusahaan. Eric Schmidt sendiri bergelar Ph.D dalam ilmu komputer dari University of California at Berkeley. Kultur perusahaan Google yang seperti suasana kampus sangat mendorong pekerja untuk berpikir kreatif. Pendeknya, Googleplex--kantor pusat Google-- adalah kantor idaman. (lihat antara lain foto-foto di majalah Time).
Perjalanan Google sepertinya masih panjang. Bagaimana Google mengeduk uang dari iklan-iklan, membuat software berbasis web, men-scan buku-buku di perpustakaan sehingga bisa diperoleh dengan gratis di internet, tentu mengkhawatirkan pemain-pemain lain. (Baca artikel di Wired: Who's Afraid of Google? Everyone.) Google bahkan merekrut calon karyawan di depan hidung Microsoft. Tapi apa yang sudah dicapai Google dalam waktu yang singkat adalah buah dari ke-genius-an, kreativitas, dan kerjasama orang-orang di dalamnya.